Filsafat Ilmu-ilmu Sosial

Patrick Baert dan Fernando Dominiques Rubio

Dengan memperhatikan kemuncul ilmu sosisal maka dapat dikatakan ilmu sosial lebih muda usianya jika dibandingkan dengan filsafat. Bahkan filsafat ilmu-ilmu sosialpun demikian bila dibandingkan dengan filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu-ilmu sosial tidak memiliki sejarah yang panjang. Kemunculannya baru di era abad delapan belasan ke sembilan belas. Meski demikian bukan berarti bahwa tema “sosial” tidak disinggung oleh para filsuf.

Membahas positivisme maka tentu tidak akan terlepas dari Saint Simon dan August Comte. Menilik filsafat positivisme dalam kemunculannya di abad 19 pasca pencerahan, tentu akan ditemukan di sana perpedaan prinsip filsafat antara masa abad 18 (pencerahan) dan abad 19 pasca pencerahan. Abad 18 merupakan abat ”kebebasan akal”. Sejalan dengan itu, hal-hal transendental terpinggirkan atau ”mendapat perlawanan”. Maklum karena sekian abad ilmu terkungkung atau ”terjajah”.

Berbeda dengan abad sebelumnya, abad 19 di Prancis, para filsuf kembali pada ”peranan dimensi rohani manusia”. Di mana mereka menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman, yang berkembang pada masa yang sama.

Pada masa itu, berkembang sebuah model berpikir yang dinamakan positivisme. Positivisme sebagai sebuah gaya berpikir berkembang dan berpengaruh pada abad 19 dengan tokoh Auguste Comte. Aliran inilah yang nantinya akan menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan.

Positivisme muncul dengan ciri khasnya yakni menolak metafisika dan mendukung filsafat positif, bertolak belakang dengan idealisme (gaya berpikir kantian) yang mendukung metafisika.

Selama lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama kemanusiaan. Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial. Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan bersahabat dengan Saint Simon.

Ciri khas yang menandai pemikiran Comte adalah tentang evolusi pemikiran manusia atau ada yang menyebut lipat tiga pemikiran manusia yakni zaman “teologis, metafisis dan ilmiah atau positif.

August Comte (1798-1857) membagi 3 tingkat perkembangan ilmu pengetahuan tersebut diatas kedalam tahap religius, metafisik, dan positif. Hal ini dimaksudkan dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat atau dalil ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi (deducto).

Bagi Comte, pada tahap teologis orang menganggap ”segala benda berjiwa (anima), lalu menyembahnya (animisme)”. Bahkan setiap wilayah gejala-gejala ”memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme)”. Dan ditahap ini sebagai tahap terakhir adalah gejala yang banyak tadi (poly) diganti dengan satu tokoh tertinggi (monotheisme). Ini kalau digambarkan akan muncul pula dalam tiga tahap primitif /anismisme ke politeisme ke monoteisme. Tidak ada pribadi (tokoh) dan konsep penyebab tunggal/causa. Tidak ada hal numinus atau yang tremendum.

Hal-hal diluar yang teramati, tidak ada kecuali perihal faktulitas dari yang faktual. Karena hal faktual akan menjadi objek observasi.

Dari tahap teologis, beralih ke tahap metafisis. Dalam tahap kedua, orang mulai berspekulasi, berasumsi, atau membuat hipotesis-hipotesis tentang metafisika (keberadaan) ujud yang menjadi objek penelaahaan yang terbatas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan berdasarkan postulat metafisika tersebut (hipotetico). Ditahap pertama dianggap juga sebagai yang adikodrati diganti dengan yang abstrak (tahap kedua). Di tahap ini, dipersatukan dengan alam, yang dipandang sebagai asal mula segala gejala. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses ferivikasi yang objektif (ferivikatif).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

  1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
  2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
  3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Kritik terhadap Positifisme

Pemikiran positivisme berkaitan dengan verifikasi menjadi hal penting dalam metode penelitian keilmuan. Metode verifikasi kemudian menjadi metode yang familiar di kalangan akademisi. Di mana cara kerja dari metode verifikasi adalah mencari kebenaran sebanyak-banyaknya untuk membuktikan sebuah dalil.

Verifikasi dan Falsifikasi dalam Kritik

Bagi kaum positivistik sesuatu dikatakan benar/sahih jika telah terverifikasi          secara empiris, terukur dan dapat dipercaya keandalannya. Kata kunci dari positivisme adalah verifikasi.

Bertolak belakang dengan teori falsivikasi, teori falsifikasi justru tidak memulai penyelidikannya dengan memferivikasi setiap data melainkan bertolak dari satu kesalahan untuk membantah. Teori falsifikasi (falsus = tidak benar dan facere = membuat) diperkenalkan oleh Karl Popper. Popper menolak teori berpikir verifikatif. Bagi Popper setiap teori yang dikemukakan manusia tidak akan seluruhnya cocok dengan hasil observasi atau percobaan. Dan merupakan satu set hipotesis yang bersifat tentatif. Pemikiran Popper jelas berbeda dengan prinsip verifikasi pemikir di Wina.

Prinsip verfikasi merupakan garis demarkasi atau tapal batas antara “pengetahuan dan non pengetahuan”. Ia mengajukan prinsip yang lain sebagai lawan verifikasi. Jika verifikasi menempuh jalur pembuktian melalui fakta-fakta maka falsifikasi justru “menggurkan suatu teori melalui fakta”.

Atas pemikiran Popper atau atas koreksi terhadap positivisme, Rudolf Carnap beranggapan bahwa falsifikasi Popper menggantikan verfisikasi positivisme. Karena itu Popper tidak keberatan untuk menerima “nama falsifikasi”. Yang lebih dikenal dengan sebutan “prinsip falsibilitas atau the principle offalsifibility”.

Fakta-fakta yang dikumpulkan hanya merupakan fakta-fakta yang mendukung dalam sudut pandang subjek atau pengamat. Pengamat tidak akan menghiraukan fakta-fakta anomali melainkan pada fakta-fakta pendukung.

Nah, fakta-fakta anomali yang diabaikan oleh pengamat dengan prinsip ferivikasi, oleh Popper dipandang sebagai jalan pembuktian yang ia sebut falsifikasi.

Kaum positivistis masih terus bergulat dengan generalisasi-generalisasi abstrak yang benar “selama mereka berkorespondensi dengan fakta-fakta”.

Sedangkan Popper “berhasil menyodorkan suatu pemecahan bagi masalah induksi dan dengan itu senrentak juga ia mengubah seluruh pandangan tradisional tentang ilmu pengetahuan. Menurut dia suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena sudah dibuktikan melainkan karena dapat diuji (testable)”.

Pemikiran Poperian bukan tanpa kritik, pemikiran Popperian kemudian dikritik oleh Thomas Kuhn. Kuhn berkata bahwa suatu kajian tentang sejarah ilmu pengetahuan yang menunjukkan bahwa dari masa ke masa para ilmuwan tidak berusaha untuk menentang paradigma yang mereka gunakan dan bahkan ketika mereka berhadapan dengan hasil-hasil anomali sekalipun. Kritik Kuhn menginspirasi Lakatos untuk memperhalus sikap kritis Popper. Lakatos berujar bahwa ilmuwan dianggap rasonal dalam mempertahankan program penelitiannya bahkan jika harus berhadapan dengan sejumlah pembuktian kebenaran empiris. Boleh kita katakan bahwa Lakatos membawa falsifikasionistik Popperian lebih jauh lagi bergerak.

Sumber: Bryan S. Turner (ed). Teori-teori Sosial. Terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012